Raja Raja Hindu Budha Di Indonesia

Raja Raja Hindu Budha Di Indonesia

Peninggalan Masa Hindu-Budha di Indonesia

Peninggalan Masa Hindu-Budha di Indonesia

Masa Hindu-Budha di Indonesia meninggalkan beragam peninggalan bersejarah. Berbagai jenis peninggalan masa Hindu-Budha di Indonesia itu adalah:

Kitab Negarakertagama

Pengarang Kitab Negarakertagama adalah Mpu Prapanca. Sama dengan Sutasoma, Kitab Negarakertagama juga menjadi salah satu

Menurut catatan Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Negara Kertagama (2006), tulisan Mpu Prapanca ini mengisahkan pendahulu Majapahit yang bernama Kerajaan Singhasari, beserta silsilah raja-raja dari wangsa Rajasa.

Kakawin Nāgarakrtāgama atau Kitab Negarakertagama juga memuat banyak sanjungan buat Raja Hayam Wuruk. Kitab yang sama menggambarkan pula kondisi kehidupan sosial, agama, politik, kebudayaan, sampai pemerintahan di Majapahit.

Kitab Pararaton kemungkinan disusun pada sekitar tahun 1535 Saka (1613 M). Pengarang Kitab Pararaton hingga kini belum diketahui.

Sebagaimana Negarakertagama, Kitab Pararaton juga mengisahkan riwayat dari Kerajaan Singasari dan Majapahit. Namun, Pararaton menyajikan versi cerita agak berbeda.

Dalam Kitab Pararaton, terdapat kisah hidup Ken Arok, sosok yang disebut sebagai pendiri Wangsa Rajasa yang berkuasa di Singasari dan Majapahit. Nama ini tidak terdapat dalam Kitab Negarakertagama.

tirto.id - Kitab peninggalan masa Hindu-Budha di Indonesia merujuk pada beberapa karya tulisan yang disusun pada rentang waktu abad ke 4 sampai 16 Masehi. Pada masa itu, sejumlah pujangga, cendekiawan, hingga agamawan yang sebagian mengabdi pada kerajaan aktif menulis sejumlah karya yang hingga kini masih ada jejaknya.

Sudrajat dalam Diktat Kuliah Sejarah Indonesia Masa Hindu Budha (2012) menerangkan, tanda dimulainya sejarah masa kerajaan Hindu-Budha di Indonesia adalah Prasasti Yupa. Prasasti itu merupakan bukti sejarah Kerajaan Kutai di Kalimantan pada sekitar abad ke-4 M.

Pada masa yang sama juga tumbuh Kerajaan Tarumanegara di wilayah Jawa bagian barat. Setelah itu, muncul lebih banyak lagi kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang bukti sejarah keberadaannya lestari hingga kini, termasuk beberapa kitab atau lontar.

Misalnya adalah Kerajaan Kaling, Sriwijaya, Mataram Kuno (Medang), Kahuripan, Kediri, Singasari, hingga Majapahit. Keruntuhan Majapahit pada abad 15 M menandai perubahan drastis di nusantara, yakni kemunculan era kesultanan-kesultanan Islam.

Kitab Bharatayudha

Mpu Sedah dan Mpu Panuluh adalah pengarang Kitab Bharatayudha yang disusun ketika masa Raja Jayabaya (1135-1159) berkuasa di Kerajaan Kediri.

Kitab ini selesai disusun pada tahun 1157 M (1079 Saka). Karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tersebut berisi gubahan cerita perang Pandawa dan Kurawa di Padang Kurusetra.

Teori Masuknya Agama Hindu dan Buddha ke Indonesia

Melalui jalur perdagangan, agama Hindu dan Buddha mulai hadir di Indonesia. Para pedagang tersebut mengajarkan agama Hindu dan Buddha ke Indonesia.

Baca juga : Ini Kerajaan Tertua Bercorak Hindu Budha di Indonesia, Simak Urutannya

Ada 5 teori yang cukup terkenal dalam menjelaskan masuknya agama Hindu dan Buddha ke Indonesia.

Menurut teori ksatria agama Hindu dibawa ke Indonesia oleh kaum militer atau prajurit dan bangsawan yang saat itu memegang kekuasaan di wilayah India. Teori ksatia dikemukakan oleh C.C. Berg, Mookerji, dan J.L. Moens,

teori ini menyatakan agama Hindu dan Buddha dibawa oleh kaum ksatria yang melalukan ekspedisi militer ke Indonesia.

Baca juga : Yuk Mengenal 6 Agama yang Diakui di Indonesia

Teori ini menyatakan kalau agama Hindu Buddha dibawa oleh pada pedagang India ke Indonesia. Agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India. Teori ini dikemukakan oleh N.J. Krom, yang berpendapat bahwa agama Hindu-Buddha masuk ke Indonesia dibawa oleh pedagang dari India.

Agama Hindu dan Buddha disebarkan dengan cara pernikahan, hubungan dagang, atau interaksi dengan penduduk setempat saat pedagang dari India dan bermukim di Nusantara yang secara spesifik merujuk kepada Indonesia atau kepulauan Indonesia di masa sekarang.

Baca juga: Yuk Kenali Sejarah Teori Masuknya Islam ke Indonesia

Baca juga : Prambanan dan Borobudur Bisa Untuk Kegiatan Keagamaan se-Dunia

Teori brahmana pertama kali dikemukakan oleh Jc.Van Leur. Teori ini menyatakan bahwa agama Hindu Buddha dibawa oleh kaum brahmana dengan dua cara, yaitu kaum brahmana dari India diundang raja-raja Indonesia dan kaum brahmana datang dari India bersama para pedagang ke Nusantara.

Teori yang dikemukakan oleh F.D.K Bosch menyatakan bahwa agama Hindu Buddha dibawa oleh orang Indonesia yang pergi belajar ke India dan ketika kembali dari India, mereka menyebarkan agama Hindu Buddha ke Indonesia.

Teori sudra dikemukakan oleh van Faber. Teori ini menjelaskan bahwa penyebaran agama dan kebudayaan Hindu Buddha di Indonesia diawali oleh para kaum sudra atau budak yang bermigrasi ke wilayah Indonesia.

Baca juga : 20 Twibbon untuk Memperingati Peran Penting Profesi Farmasi

Sampaikan Cerita/Opini Ini Melalui :

Belanja di App banyak untungnya:

Kerajaan Kupang. Raja Daud Tanof adalah Raja pertama kerajaan atau swapraja Kupang. Nama Lengkap raja Taebenu ini adalah Daud Hanoch Obed Tanof . Memerintah 1917-1918

Kerajaan Fialaran. Loro Fialaran Tasifeto As Tanara Don Henderikus Besin Sirimain Da Costa De Ornai

Kerajaan Lioemata. Laki laki Atoni dari Lioemata

Kerajaan Lamaknen. Raja yang pernah memimpin Makir

Raja raja Timor di Kupang, Timor, 11 Februari 1889

Kerajaan Insana. Raja VII Insana, Chalmento Kahalasi Taolin, 1912-1933

Kerajaan Kupang (Sonbai Kecil). Alm. Raja Alfons Nisnoni dan pemerintahnya

Kerajaan Kupang (Sonbai Kecil). Raja Don Ote Nicolaas Isu Nisnoni, Raja dari Kupang, 1918 – 1945

Prajurit wilayah Kupang. 1875

Kerajaan Insana. Raja Lan Taolin, 1942.

Kerajaan Insana. Raja Insana VIII, Dominikus Arnoldus Un Taolin, 1935

Kerajaan Amarasi. Raja kerajaan Amarasi dan Putera Mahkota

Kerajaan Amanuban. Raja Pae Nope, 1920.

Kerajaan Kefamenanu. Raja Pae Nope, Lan Taolin dan Johan Paulus, Leu Nope

Kerajaan Belu-Fatuaruin. Loro Bot Ignatius Asit Soe Bertek dari Fatuaruin-Belu (1931-1964). (ke-2 dari kiri depan)

Kerajaan Amarasi. Raja Rasi Koroh of Amarasi with one of his fettors standing,

Kerajaan Amanuban. Seorang imam Amanuban memakai kostum perang dan Meo Atoni di Timorese

Kerajaan Amanuban. Foto Pasar Nikiniki tahun 1940. Pasar Niki- niki pertama kali dibuka oleh Raja Amanuban Noni Nope

Kerajaan Wewiku. Raja Edmundus Klai Muti dari Wewiku-Belu (wafat 1999)

Kerajaan Umaklaran. Arnoldus Manek Siku; raja dari Umaklaran; wafat 1964. Fialarang area, Belu

Kerajaan Tefnai. Temukung dari Tefnai

Kerajaan Soe. Raja Afuan. 1890.

Kerajaan Soe, Atoni dari Soë

Raja raja di P. Timor

Raja raja di Kupang. Federation of Timorese Rajas 1920

Raja dari Timor tahun 1898.

Kerajaan Naitimu. Fransiskus Manek, raja Naitimu

Kerajaan Mollo. Raja Mollo, Lay Akun Tabelak Oematan, memerintah 1915-1930.

Kerajaan Mollo. Raja kerajaan Mollo dan pasukannya.

Kerajaan Mollo. Radja Tua Son bai kerajaan Mollo berkuaza 1930-59, sebelumnya menjadi temukung brsar Fatumnutu,

Kerajaan Miomaffo. Temukung dari Ballo-Miomaffo, 1924

Kerajaan Lasiolat. Raja Lasiolat Don Kaitanus Sirimain Da Costa De Orna.

Kerajaan Lasiolat. Fettor Lasiolat, 1936

Kerajaan Kupang, (Sonbai Kecil)

Kerajaan Kupang (Sonbai Kecil). Prajurit.

Kerajaan Insana. Raja Insana, Yosef Carmento Kahlasi Taolin

Kerajaan Insana. Raja Dominikus Taolin, memerintah 1938- 1940

Kerajaan Belu. Orang dari Besikama, Belu selatan.

Kerajaan Amanuban. Raja Amanuban Usif Pina Nope, 1913-1955

Kerajaan Amarasi, raja

Kerajaan Amanatun. Raja Kusa Banunaek.

Kerajaan Amanuban. Radja Petrus Pae Nope dari Amanuban di tengah kepala-kepalanya

Bách khoa toàn thư mở Wikipedia

Raja Raja Chola I là một trong những vị hoàng đế kiệt xuất của nhà Chola, người trị vì từ năm 985 đến 1014 Sau công nguyên. Ông đã chinh phạt các vương quốc ở phía Nam Ấn Độ và đế quốc Chola cho đến tận Tích Lan phía nam, và Kalinga (Orissa) phía bắc, dẫn đến sự phát triển không ngừng của đế chế Chola. Ông từng chiến đấu trong nhiều trận đánh với quân Chalukya ở miền bắc và Pandya ở miền nam. Việc Rajaraja thôn tính Vengi đã dẫn đến sự sáng lập triều đại Chalukya Chola. Ông xâm chiếm Tích Lan và bắt đầu sự chiếm đóng của Chola trên hòn đảo này kéo dài trong một thế kỉ.

Ông đã hợp lý hóa chế độ hành chính, chia đất nước thành nhiều khu vực và chuẩn hóa việc thu ngân sách qua những cuộc điều tra đất đai có hệ thống. Ông xây dựng ngôi đền Brihadisvara lộng lẫy ở Thanjavur và từ đây ông phân chia của cải cho các bề tôi của mình. Những thành tựu của ông đặt nền móng cho con là Rajendra Chola I mở rộng đế quốc của mình hơn nữa.

ANDA pasti sudah tidak asing dengan candi Borobudur, candi Prambanan, maupun peninggalan lain – berupa prasasti dan lain sebagainya, yang tersebar di Indonesia dan menjadi objek wisata popular.

Hal tersebut merupakan bukti bahwa pengaruh agama Hindu dan Budha di Indonesia cukup besar dan menjadi salah satu pembentuk keanekaragaman budaya di tanah air Indonesia.

Masuknya agama Hindu dan Buddha ke Indonesia berawal melalui jalur perdagangan.

Baca juga : 3 Peninggalan Kerajaan Majapahit, Mulai dari Candi, Prasasti Hingga Kitab

Pada masa tersebut, sebelum bangsa kolonial datang ke Nusantara, Indonesia melakukan transaksi perdagangan dengan bangsa asing, terutama Tiongkok dan India yang merupakan pusat agama Hindu dan Buddha terbesar di Asia.

Baca juga: Selama Nataru Seluruh Wilayah Indonesia Berstatus PPKM Level 3

Kitab Tantu Panggelaran

Kitab Tantu Panggelaran adalah karya sastra Jawa kuno yang ditulis pada tahun 1557 M. Ditulis dalam rupa prosa, kitab ini menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Pengarah Kitab Tantu Panggelaran tidak diketahui.

Isi Kitab Tantu Panggelaran mengisahkan asal-usul Pulau Jawa menurut versi pemikiran masyarakat Jawa pada era akhir Majapahit. Tantu Panggelaran juga menjadi sejenis buku panduan tentang semua bangunan suci (dharma) yang ada di Pulau Jawa.

Kitab Tantu Panggelaran mengisahkan asal mula keberadaan manusia di Jawa, ajaran tata kehidupan, hingga cerita pemindahan gunung mahameru dari India ke Pulau Jawa.

Gajah Mada, karya Muhammad Yamin

Banyak pihak menilai, abad ke-20 merupakan masa kejayaan peradaban Minangkabau. Hal ini ditandai dengan besarnya peran mereka dalam lima lini pokok kehidupan bermasyarakat di Indonesia (dan Nusantara pada umumnya). Dari lima bidang tersebut, yakni : politik, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, serta sosial keagamaan, Minangkabau telah melahirkan ratusan bahkan ribuan ahli yang kompeten di bidangnya. Para ahli itu, yang telah go internasional dan bahkan melegenda antara lain : Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, Tuanku Abdul Rahman, Yusof Ishak (politik); Hasyim Ning, Abdul Latief, Tunku Tan Sri Abdullah (ekonomi/bisnis); Chairil Anwar, Muhammad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Usmar Ismail, Soekarno M. Noer (budaya); Emil Salim, Sheikh Muszaphar Shukor, Taufik Abdullah, Azyumardi Azra (ilmu pengetahuan); serta Agus Salim, Hamka, Natsir, Tahir Jalaluddin, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syafii Maarif (sosial-keagamaan).

Namun dari itu, sedikit sekali orang yang mengetahui kejayaan Minangkabau di masa lampau. Menurut hasil penelitian Mochtar Naim yang dituangkan dalam disertasinya “Merantau”, sejak dahulu kala orang-orang Minang telah banyak berkontribusi dalam pembentukan peradaban Nusantara. Dan diantara mereka banyak pula yang menjadi raja ataupun pendiri sebuah kerajaan. Dalam tulisan kali ini, kita akan melihat sepak terjang raja-raja asal Minangkabau, yang memerintah di banyak negeri seantero Nusantara.

Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dipercaya sebagai pendiri imperium besar Sriwijaya. Menurut tambo alam Minangkabau, Dapunta Hyang berasal dari lereng Gunung Merapi, yang kemudian melakukan migrasi bersama sejumlah penduduk setempat. Dengan mengaliri Sungai Kampar dari pedalaman Minangkabau, Dapunta Hyang beserta rombongannya tiba di bibir pantai Selat Malaka. Mereka terus melanjutkan perjalanan ke selatan hingga bertemu muara Sungai Musi. Dari sini mereka mencoba memudiki Sungai Musi dan berjumpa lereng Gunung Dempo. Dari lereng gunung inilah kemudian Dapunta Hyang beserta rombongannya membangun sebuah kedatuan yang berpusat di tepian Sungai Musi.

Prasasti Kedukan Bukit

Kisah perjalanan Dapunta Hyang dari tanah Minang, terukir jelas dalam Prasasti Kedukan Bukit. Prasati itu bercerita tentang rombongan Dapunta Hyang yang selamat melakukan perjalanan dan penyerangan dari Minanga, bersama serombongan pasukan yang melewati darat maupun laut. Hingga saat ini, penafsiran isi prasasti tersebut masih simpang siur. Poerbatjaraka berpendapat bahwa Minanga (atau Minanga Tamwan) merupakan hulu pertemuan dua sungai Kampar, yang berada di luhak Lima Puluh Koto. Dan Minanga Tamwan diprediksi sebagai asal usul nama Minangkabau. Sedangkan para ahli lainnya seperti George Coedes dan Slamet Muljana, justru berteori bahwa Minanga merupakan kerajaan taklukan Dapunta Hyang yang terletak di hulu Batanghari. E.S Ito dalam novelnya “Negara Kelima”, juga menyinggung mengenai migrasi Dapunta Hyang dari Minangkabau ke Palembang. Dikatakannya bahwa Dapunta Hyang telah menghiliri Sungai Batanghari sampai ke muara Jambi, dan kemudian melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki hingga ke tepian Sungai Musi. Menurutnya Dapunta Hyang adalah salah seorang pembesar Minangkabau, yang ingin mengembalikan kejayaan imperium Atlantis.

Putra Minangkabau lainnya yang duduk di tampuk kekuasaan adalah Kalagamet. Dia merupakan raja Majapahit kedua yang memerintah pada tahun 1309-1328. Kalagamet yang bergelar Sri Jayanagara, beribukan Dara Petak seorang permaisuri yang berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Pada masa berkuasa, dia mengangkat saudara sepupunya yang juga keturunan Minangkabau, Adityawarman, sebagai duta untuk negeri Tiongkok. Adityawarman adalah putra Dara Jingga, permaisuri Dharmasraya lainnya yang bersuamikan Adwayawarman. Di masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi, Adityawarman naik jabatan sebagai wreddhamantri atau perdana menteri kerajaan. Dalam posisi strategis itu, dia membangkang kepada Tribhuwana dan melecehkan Majapahit. Pada tahun 1347, dia pulang kampung ke Sumatra dan mendirikan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan ini merupakan penerus wangsa Mauli yang telah berkuasa di Sumatra selama hampir satu setengah abad. Pada abad ke-14, Kerajaan Pagaruyung memiliki daerah taklukan ke hampir seluruh wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaysia. Kekuasaannya atas Nusantara barat, merupakan balance of power bagi Majapahit yang berkuasa di bagian tengah kepulauan.

Museum Adityawarman di Padang

Selain Jayanagara dan Adityawarman, tokoh Majapahit lainnya yang dipercaya berasal dari Minangkabau adalah Gajah Mada. Namanya mengikuti genre jago silat Minang lainnya seperti Harimau Campa, Gajah Tongga, atau Anjing Mualim. Sebagian orang memperkirakan, Gajah Mada merupakan putra seorang pendekar Minangkabau yang ikut mengantarkan Dara Petak dan Dara Jingga ke Majapahit. Namun Ridjaluddin Shar dalam novelnya “Maharaja Diraja Aditya­warman: Matahari di Khatulis­tiwa”, malah berpendapat sebaliknya. Menurutnya Gajah Mada adalah anak dari salah seorang pasukan Pamalayu yang menikahi gadis Minangkabau. Asal usul Gajah Mada memang penuh misteri dan tanda tanya. Hingga saat ini belum ada sejarawan yang berhasil mengungkap kelahiran dan kematian tokoh besar tersebut, kecuali hanya dugaan-dugaan awal saja. Yang jelas, Gajah Mada merupakan simbol kebesaran Majapahit dan persatuan Indonesia. Ketika ia ditunjuk sebagai perdana menteri pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dalam Sumpah Palapa ia bernazar akan menaklukkan seluruh Nusantara di bawah panji Majapahit. Namun janjinya tersebut tak sempat terwujud, sampai akhirnya kerajaan itu runtuh pada awal abad ke-16.

Muhammad Yamin, seorang pakar hukum, ahli sejarah, budayawan, dan salah satu founding fathers Indonesia, merupakan pengagum berat sosok Gajah Mada. Kekagumannya mungkin juga dikarenakan pertalian darah yang sama sebagai putra Minangkabau. Usahanya dalam merekonstruksi peran Gajah Mada dalam buku setebal 112 halaman, merupakan salah satu bentuk kegandrungannya. Impian Gajah Mada mempersatukan Nusantara, telah mengilhaminya untuk menggabungkan seluruh jajahan Hindia-Belanda dalam satu kesatuan wilayah politik. Pada bulan Oktober 1928, cita-citanya itu benar-benar terwujud. Dalam sebuah ikrar bersama yang kelak dikenal dengan Sumpah Pemuda, Yamin berhasil menyatukan seluruh komponen rakyat Hindia-Belanda, dalam satu bangsa, bahasa, dan tanah air.

Sultan Hassanal Bolkiah, salah seorang raja keturunan Minang

Pada tahun 1390, seorang pengelana Minangkabau yang kemudian berjuluk Raja Bagindo, mendirikan Kesultanan Sulu. Tak banyak riwayat mengenai raja yang satu ini, kecuali para keturunannya yang menjadi pelaut ulung. Kabarnya mereka sangat ditakuti oleh pedagang-pedagang Eropa yang acap melintasi perairan utara Nusantara. Mohd. Jamil al-Sufri dalam bukunya “Tarsilah Brunei: The Early History of Brunei up to 1432 AD” menyebutkan, bahwa dari silsilah raja-raja Brunei Darussalam, diketahui bahwa pendiri kerajaan ini : Awang Alak Betatar atau yang bergelar Sultan Muhammad Shah, berasal dari Minangkabau. Selain itu raja-raja Serawak di Kalimantan Utara, juga banyak yang berasal dari Minangkabau. Hal ini berdasarkan informasi para bangsawan Serawak, yang ditemui Hamka pada tahun 1960. Kamardi Rais Dt. Panjang Simulie dalam bukunya “Mesin Ketik Tua” juga memerikan berita bahwa ketika James Brook dirajakan di Serawak, yang melantiknya adalah datuk-datuk asal Minangkabau.

Sultan Buyong, anak dari raja Indrapura yang bertahta di Pesisir Selatan, pernah berkuasa di Kesultanan Aceh pada tahun 1586-1596. Buyong (Buyung ?) naik menjadi raja, berkat pengaruh dan kekuatan para pedagang Minang yang berniaga di Kutaraja. Sebelum itu kakak ipar Buyong, Sultan Sri Alam, juga sempat bertahta di Kesultanan Aceh (1575-1576). Sri Alam berkuasa melalui kudeta berdarah hulubalang Minangkabau, yang disebut-sebut telah berkomplot dalam pembunuhan Sultan Muda. Untuk menyingkirkan pengaruh Minangkabau dari Kerajaan Aceh, sekaligus membalaskan dendam kematian Sultan Muda, pada tahun 1596 ulama-ulama Aceh melakukan pembunuhan berencana terhadap Buyong. Dengan terbunuhnya Buyong maka berakhirlah pengaruh Indrapura di tanah rencong. Kesultanan Indrapura yang beribu kota di Indrapura (selatan Painan), merupakan pecahan dari Kerajaan Pagaruyung. Pada paruh kedua abad ke-16, kesultanan ini memiliki pengaruh yang cukup luas di pesisir barat Sumatra. Wilayahnya menjangkau daratan Aceh di utara hingga Bengkulu di selatan.

Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I atau yang dikenal dengan Raja Kecil adalah salah seorang putra Pagaruyung pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura. Sebelum mendirikan Kesultanan Siak pada tahun 1723, Raja Kecil sempat bertahta di Kesultanan Johor (1717-1722). Namun kekuasaannya tak bertahan lama, karena aksi kudeta yang dilancarkan Bendahara Abdul Jalil dan pasukan Bugis. Di masa pemerintahannya, Kesultanan Siak melakukan perluasan teritori hingga ke wilayah Rokan, dan berhasil membangun pertahanan armada laut di Bintan. Pada tahun 1740-1745, Siak menaklukkan beberapa kawasan di Semenanjung Malaysia. Dan 40 tahun kemudian, wilayah kekuasaannya telah meliputi Sumatra Timur, Kedah, hingga Sambas di pantai barat Kalimantan.

Istana Siak Sri Indrapura

Di Semenanjung Malaysia, Raja Melewar yang merupakan utusan Pagaruyung, menjadi raja bagi masyarakat setempat. Pada tahun 1773, konfederasi sembilan nagari di Semenanjung Melayu, membentuk sebuah kerajaan yang diberi nama Negeri Sembilan. Kerajaan ini terbentuk pasca derasnya arus migrasi Minangkabau ke wilayah tersebut. Seperti halnya masyarakat di Sumatra Barat, rakyat Negeri Sembilan juga menggunakan hukum waris matrilineal serta model adat Datuk Perpatih. Pada tahun 1957, Tuanku Abdul Rahman yang merupakan keturunan Raja Melewar, menjadi Yang Dipertuan Agung Malaysia pertama.

Di Tapanuli, Sisingamangaraja yang dipercaya sebagai Raja Batak, juga berasal dari Minangkabau. Hal ini berdasarkan keterangan Thomas Stamford Raffles yang menemui para pemimpin Batak di pedalaman Tapanuli. Mereka menjelaskan bahwa Sisingamangaraja adalah seorang keturunan Minangkabau yang ditempatkan oleh Kerajaan Pagaruyung sebagai raja bawahan (vassal) mereka. Hingga awal abad ke-20, keturunan Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus.

Lihat pula : 1. Perantau Minang di Malaysia 2. Orang Minang, Peran, dan Pencapaiannya 3. Mencari Akar Dinamisasi Minangkabau

Kitab Arjuna Wiwaha

Kakawin Arjunawiwāha atau Kitab Arjuna Wiwaha adalah karya sastra kuno yang dikarang pada masa kekuasaan Raja Airlangga di

(Medang-Kahuripan). Adapun Pengarang Kitab Arjuna Wiwaha adalah Mpu Kanwa.

Mpu Kanwa menyusun kitah Arjunawiwaha pada 1030 M. Isi Kitab Arjunawiwaha adalah gubahan salah satu episode kisah dalam Kitab Mahabharata, yakni Wanaparwa. Kisah ini menceritakan pertapaan Arjuna di Gunung Mahameru untuk mendapatkan senjata yang akan memenangkan Pandawa dalam perang Bharatayuda.

Kitab Peninggalan Masa Hindu Budha di Indonesia

Kitab Peninggalan Masa Hindu Budha di Indonesia

Khusus karya tulis, ada banyak contoh kitab peninggalan masa Hindu-Budha di Indonesia yang dokumennya masih terjaga hingga kini sehingga bisa dipelajari para peneliti.

Daftar contoh kitab peninggalan masa Hindu-Budha yaitu sebagai berikut:

Pengarang Kitab Sutasoma adalah Mpu Tantular. Di dalam Kitab Sutasoma, terdapat kata "

" yang saat ini menjadi semboyan Negara Republik Indonesia. Kitab Sutasoma merupakan salah satu bukti sejarah Kerajaan Majapahit.

Mpu Tantular menyusun Kitab Sutasoma pada masa kejayaan Majapahit atau tahun 1300-an (abad ke-14 Masehi). Waktu penulisan kitab ini bertepatan dengan masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, penguasa Majapahit yang paling sukses. Sutasoma pun memaparkan berbagai detail kondisi Majapahit pada abad 14.